Dalam perdagangan internasional, sistem pembayaran
dengan menggunakan Letter of Credit (atau disingkat L/C) adalah sistem yang
paling baik dan fair baik bagi eksportir maupun importir. L/C merupakan sistem
yang paling lazim digunakan para eksportir dan importir karena dalam
pelaksanaan L/C, semua pihak, termasuk bank, hanya berurusan dengan dokumen,
bukan dengan barang, jasa, atau pelaksanaan lainnya yang berkaitan dengan
dokumen bersangkutan. Dengan menggunakan L/C para pihak mendapatkan perlakuan
fair, karena kepemilikan atas barang yang diperdagangkan baru dapat berpindah
tangan jika semua pihak telah memenuhi kewajibannya.
Pada umumnya L/C digunakan untuk
membiayai penjualan barang/jasa jarak jauh antara eksportir dan importer.
Definisi-Definisi dalam Transaksi Letter of Credit:
·
CFG Sunaryati Hartono
“Secara
harfiah L/C dapat diterjemahkan sebagai Surat Hutang atau Surat Piutang atau
Surat Tagihan, tetapi sebenarnya L/C lebih merupakan janji akan dilakukan
pembayaran,apabila dan setelah terpenuhi syarat-syarat”
·
Bank Indonesia
“Letter of
Credit adalah janji dari issuing bank untuk membayar sejumlah uang kepada
eksportir sepanjang ia dapat memenuhi syarat dan kondisi Letter of Credit
tersebut”
·
Uniform Customs and Practice for
Documentary Credit, ICC Publication No. 500 tahun 1993 (UCP 500)
“Setiap
perjanjian, apapun namanya atau maksudnya, dimana suatu bank (bank penerbit)
bertindak atas permintaan dan instruksi seorang nasabah (pembuka) atau atas
namanya sendiri,
2
untuk
melakukan pembayaran kepada pihak ketiga atau kuasanya (orang yang ditunjuk
oleh penerima L/C) atau memberikan kuasa kepada bank lain untuk melakukan
pembayaran, atau untuk mengaksep dan membayar wesel, atau memberi kuasa kepada
bank lain untuk menegosiasi atas penyerahan dokumen-dokumen yang ditetapkan,
asalkan memenuhi persyaratan dan kondisi L/C”.
Berikut ini diuraikan definisi istilah-istilah dalam
kaitannya dengan transaksi ekspor dan impor menggunakan L/C :
1.
Applicant atau Pemohon adalah pihak
yang mengajukan permohonan penerbitan/pembukaan L/C applicant biasanya adalah
importer
2.
Issuing Bank/Opening Bank atau Bank
Penerbit adalah bank yang diminta oleh applicant untuk menerbitkan L/C
3.
Advising Bank atau Bank Penerus
adalah bank koresponden dari Issuing Bank yang diminta untuk meneruskan L/C
kepada eksportir
4.
Negotiating Bank atau Bank
Penegosiasi adalah bank yang diberi kuasa oleh Issuing Bank untuk membayar
sejumlah uang kepada beneficiary, sepanjang beneficiary telah menyerahkan
dokumen-dokumen ekspor yang sesuai dengan syarat dan kondisi L/C
5.
Benefiary atau Penerima adalah pihak
yang menerima L/C dan biasanya juga adalah eksportir.
6.
Confirming Bank adalah bank yang
ditunjuk oleh Issuing Bank untuk melakukan pembayaran dalam hal Issuing Bank
cidera janji tidak melakukan pembayaran, sepanjang syarat dan kondisi L/C telah
terpenuhi.
7.
Sight L/C adalah L/C yang
mensyaratkan pembayaran atas unjuk, dimana kewajiban bank untuk melakukan
pembayaran adalah pada saat dokumen-dokumen diajukan kepadanya.
8.
Usance L/C mensyaratkan pembayaran
berjangka, dimana bank berkewajiban untuk membayar pada waktu tertentu pada
masa yang akan datang, misalnya : 180 hari setelah tanggal B/L.
Negosiasi
adalah pembelian dokumen oleh Negotiating Bank disertai pembayaran kepada penerima.
3
2.3 Kronologi Kasus Pembobolan (Letter
Of Credit) L/C pada Bank BNI
- Bank BNI Cabang Kebayoran Baru menerima 156 buah L/C dengan Issuing Bank : Rosbank Switzerland, Dubai Bank Kenya Ltd, The Wall Street Banking Corp, dan Middle East Bank Kenya Ltd. Oleh karena BNI belum mempunyai hubungan koresponden langsung dengan sebagian bank tersebut di atas, mereka memakai bank mediator yaitu American Express Bank dan Standard Chartered Bank.
- Beneficiary mengajukan permohonan diskonto wesel ekspor berjangka (kredit ekspor) atas L/C-L/C tersebut di atas kepada BNI dan disetujui oleh pihak BNI. Gramarindo Group menerima Rp 1,6 trilyun dan Petindo Group menerima Rp 105 milyar.
- Setelah beberapa tagihan tersebut jatuh tempo, Opening Bank tidak bisa membayar kepada BNI dan nasabah pun tidak bisa mengembalikan hasil ekspor yang sudah dicairkan sebelumnya.
- Setelah diusut pihak kepolisian, ternyata kegiatan ekspor tersebut tidak pernah terjadi.
- Gramarindo Group telah mengembalikan sebesar Rp 542 milyar, sisanya (Rp 1.2 trilyun) merupakan potensi kerugian BNI.
Penjelasan
mengenai L/C fiktif BNI tersebut adalah sebagai berikut :
- Waktu kejadian : Juli 2002 s/d Agustus 2003
- Opening Bank : Rosbank Switzerland, Dubai Bank Kenya Ltd, The Wall Street Banking Corp, dan Middle East Bank Kenya Ltd.
- Total Nilai L/C : USD.166,79 juta & EUR 56,77 juta atau sekitar Rp. 1,7 trilyun.
- Penerima L/C : 11 perusahaan dibawah Gramarindo Group dan 2 perusahaan dibawah Petindo Group
- Barang Ekspor : Pasir Kuarsa dan Minyak Residu
- Tujuan Ekspor : Congo dan Kenya
- Skim : Usance L/C.
Dalam menanggapi kasus ini manajemen Bank BNI
mengatakan bahwa tidak ada ekspor fiktif dan belum ada kerugian, tetapi yang
ada hanya potensi kerugian (potential losses). Pertanyaannya adalah
apakah mungkin kerugian sebesar itu terjadi tanpa ekspor fiktif ? Minimnya
informasi mengenai sistem pembayaran perdagangan internasional melalui letter
of credit (L/C) menimbulkan semakin banyaknya pertanyaan mengenai kasus
pembobolan Bank BNI.
4
2.4 Pelanggaran/Penyimpangan yang
Terjadi
Berikut ini
adalah analisa mengenai kemungkinan adanya pelanggaran dalam penanganan
transaksi L/C tersebut di Bank BNI :
1.
Pelanggaran terhadap Peraturan Bank
Indonesia dan Perundang-undangan Lainnya
Dalam
rangka penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan bank (prudential
banking practice) Bank Indonesia telah membuat ketentuan Batas Maksimum
Pemberian Kredit (BMPK) yaitu 20 % dari modal disetor bank. Modal disetor BNI
per 31 Desember 2003 adalah sebesar Rp 7.042 milyar, sehingga dengan demikian
BMPK untuk kelompok Gramarindo dan Petindo adalah Rp 1,4 trilyun (20% modal
disetor). Nilai L/C yang diberikan kepada Gramarindo transaksi sebesar Rp. 1,7
triliun jelas merupakan pelanggaran karena pada dasarnya dapat digolongkan
dalam fasilitas pemberian kredit, terutama ketika fasilitas negosiasi tersebut
efektif menjadi kredit karena tidak bisa dibayar oleh Issuing Bank.
Diduga telah terjadi tindak pidana
pemalsuan terhadap L/C dan dokumen ekspor (B/L), karena dari informasi yang
ada, ternyata tidak pernah terjadi realisasi ekspor dan pengapalan barang ke
Kenya dan Kongo.
Disamping itu, berdasarkan keputusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah diputuskan terjadi pelanggaran terhadap
Undang-Undang no 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Korupsi dan UU
Nomor 15 Tahun 2002 Pasal 6 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
2.
Pelanggaran terhadap aturan internal
Bank
Semua bank, tak terkecuali Bank BNI pasti sudah
mempunyai aturan baku dalam menangani transaksi L/C, sehingga apabila semua
aturan yang ada dilaksanakan niscaya kasus seperti Bank BNI tidak akan terjadi.
Untuk lebih memberikan gambaran yang rinci, akan
dianalisa kemungkinan pelanggaran pada setiap tahapan pemrosesan L/C sbb :
a)
Pada saat meneruskan L/C
Dalam
pengamatan, dari nama-nama Issuing Bank sebagaimana disebutkan, tidak terdapat
dalam daftar nama-nama bank yang ada di Bankers Almanac atau setidak-tidaknya
tidak cukup terkenal, untuk tidak mengatakan bahwa nama-nama bank itu hanya
fiktif.
Dalam praktek perbankan pada umumnya, kalau Issuing
Bank tersebut bukan korespnden,
tentunya
pada saat L/C diterima mestinya tidak bisa diproses, karena tidak bisa
dilakukan
5
otentikasi
atas kebenaran dan keabsahan L/C dimaksud, terlebih lagi kalau ternyata L/C itu
diterbitkan oleh bank fiktif, jelas bank tidak boleh melakukan proses
selanjutnya.
Dalam UCP 500 pasal 7 disebutkan bahwa dalam hal
advising bank memutuskan untuk meneruskan L/C maka harus mengambil
langkah-langkah yang benar dalam memeriksa keabsahan L/C yang diteruskannya.
Dan apabila bank tersebut memutuskan tidak meneruskan, maka ia harus
memberitahukan kepada Issuing Bank.
Pasal 7
lebih lanjut mengatur bahwa apabila tidak bisa memastikan keabsahan L/C,
Advising Bank pada kesempatan pertama harus memberitahukan kepada Issuing Bank
dan apabila Advising Bank memilih untuk meneruskan L/C tersebut, maka ia harus
memberitahukan kepada Beneficiary bahwa ia tidak dapat memastikan keabsahan L/C
tersebut.
Ada beberapa
kemungkinan atas lolosnya L/C dari bank-bank tersebut:
ü
L/C tersebut memang benar-benar asli
dan otentik, dalam arti nama bank memang ada dan Bank BNI dapat melakukan
otentikasi atas keabsahan L/C dimaksud.
ü
L/C tersebut asli tapi palsu, dalam
artian bukan diterbitkan oleh bank-bank tersebut,tapi dibuat seolah-olah
diterbitkan oleh bank-bank tersebut dan dengan bantuan oknum-oknum yang ada di
Bank BNI dapat diotentikasi dengan menggunakan sandi otentikasi dari bank-bank
tersebut dengan cara-cara illegal.
ü
L/C memang tidak di-otentikasi sama
sekali oleh Bank BNI
ü
Satu hal yang juga sudah menjadi
praktek standard yang dilakukan oleh bank-bank diseluruh dunia dan itu mungkin
tidak dilakukan dalam kasus Bank BNI, adalah bahwa untuk nilai transaksi yang
cukup besar biasanya dimintakan klarifikasi ulang kepada Issuing Bank untuk
memastikan keabsahan dari L/C.
b). Pada
saat proses negosiasi (diskonto usance L/ C)
Sebelum melakukan negosiasi, bank biasanya melakukan
rating terhadap resiko bank korespondennya dan kemudian dibuatkan commercial
line. Ada atau tidaknya commercial line, dijadikan dasar pertimbangan untuk
menegosiasi atau tidak. Artinya bahwa jika tidak ada commercial line, maka Bank
dapat memutuskan untuk menolak negosiasi. Pada saat dokumen ekspor diajukan
kepada bank, maka bank akan memeriksa untuk meyakini bahwa semua syarat dan
kondisi L/C telah terpenuhi.
Dalam memeriksa
dokumen bank tidak bertanggung jawab terhadap kebenaran isi dokumen,
6
sebagaimana
diatur dalam UCP pasal 4 : dalam pelaksanaan L/C, bank hanya berurusan dengan
dokumen-dokumen dan bukan dengan barang-barang, jasa-jasa dan atau pelaksanaan
lainnya yang berkaitan dengan dokumen yang bersangkutan. Meskipun UCP pasal 4
mengatur demikian, bukan berarti bank tidak berhak mengecek apakah memang
barang telah benar-benar dimuat di atas kapal, sehingga bisa diterbitkannya
Bill of Lading.
Dalam kasus BNI, seharusnya karena nilai
dokumennya sangat besar, maka bank harus meyakini bahwa barang memang
benar-benar telah dimuat diatas kapal dengan mengklarifikasi kepada perusahaan
pelayaran atau dengan memeriksa secara langsung di pelabuhan muat. Setelah dokumen
diperiksa lengkap dan sesuai dengan L/C, maka dalam kasus Bank BNI dimana L/C
mensyaratkan pembayaran berjangka, maka tahap selanjutnya adalah memintakan
akseptasi kepada Issuing Bank dan apabila sudah ada akseptasi maka baru bisa
dilaksanakan negosiasi.
ü
Penanganan Pasca Negosiasi (Diskonto Usance L/C)
Permasalahan di Bank BNI adalah bahwa setelah jatuh tempo, ternyata pihak
Issuing Bank wan prestasi atau tidak bisa membayar tagihan wesel ekspor Usance.
Sudah menjadi praktek umum di dunia perbankan, apabila terdapat tagihan wesel
yang tidak dibayar oleh Issuing Bank, maka Negotiating Bank harus mengusahakan
agar outstanding tagihan tersebut segera dibayar dan agar tidak terjadi
akumulasi tagihan wesel yang tidak terbayar, maka bank seharusnya untuk
sementara berhenti memberikan fasilitas negosiasi sampai semua tagihan weselnya
dilunasi oleh Issuing Bank. Disamping itu pada saat memberikan fasilitas
negosiasi, bank biasanya mensyaratkan kepada beneficiary untuk menyerahkan
semacam surat jaminan yang dimana jika ternyata wesel ekspornya tidak dibayar
oleh bank di luar negeri, negotiating bank dapat menarik kembali dari
beneficiary atau sering disebut dengan hak regres.
ü
Hak
regres adalah hak yang dimiliki oleh Negotiating Bank atas
L/C yang tidak di-konfirm, untuk L/C yang di-konfirm Negotiating Bank tidak
mempunyai hak regres (pasal 9.iv UCP 500) Jadi dalam praktek, sebelum melakukan
negosiasi bank akan meminta terlebih dahulu surat jaminan yang nantinya akan
digunakan oleh Negotiating Bank untuk meng-eksekusi hak regresnya. Bank juga
harus meyakini bahwa pada saat hak regres itu akan dieksekusi, maka rekening
nasabah masih tersedia cukup dana.
7
Dari
penjelasan-penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan telah terjadi
pelanggaran prosedur dalam menangani transaksi L/C tersebut di atas sejak dari
tahap awal penerusan L/C sampai dengan L/C itu kemudian direalisir dan terjadi
negosiasi.
Pelanggaran tersebut kemudian berlanjut
hingga saat fasilitas negosiasi menjadi bermasalah karena tidak dibayar oleh
Issuing Bank, dimana kemungkinan Bank BNI kurang cepat dalam melakukan
tindakan-tindakan pengamanan atas fasilitas yang telah diberikan kepada
nasabahnya.
Ø
Pelanggaran
terhadap UCP 500
Dalam kasus Bank BNI, pihak yang wan prestasi adalah
Issuing Bank. Dengan asumsi bahwa nama-nama bank yang disebutkan sebelumnya
adalah benar, maka Issuing Bank dimaksud telah melanggar pasal 9.a.iii, UCP 500
yang antara lain berbunyi : Suatu irrevocable L/C merupakan jaminan yang pasti
dari Issuing Bank asalkan dokumen-dokumen yang diminta diserahkan kepada Bank
yang ditunjuk Negotiating Bank dan sesuai dengan syarat dan kondisi L/C, untuk
:
o
apabila L/C mensyaratkan pembayaran
atas unjuk (sight) untuk membayar atas
unjuk;
o
apabila L/C mensyaratkan pembayaran
kemudian (defferred payment) В– untuk membayar pada tanggal jatuh tempo yang
ditentukan sesuai dengan yang disyaratkan L/C tersebut;
o
apabila L/C mensyaratkan akseptasi :
§
Oleh Issuing Bank untuk mengaksep
wesel yang ditarik oleh penerima pada Issuing Bank dan membayarnya pada saat
jatuh tempo
§
Oleh bank tertarik lainnya untuk
mengaksep dan membayar pada saat jatuh tempo wesel yang ditarik oleh
beneficiary pada Issuing Bank dalam hal bank tertarik yang ditunjuk dalam L/C
tidak mengaksep wesel yang ditarik atas bank tersebut, atau membayar wesel yang
telah diaksep tetapi tidak dibayar oleh bank tertarik tersebut pada saat jatuh
tempo.
§
Penyimpangan terhadap Kebiasaan dan
Best Practice di dunia perbankan
Berdasarkan penjelasan pada bagian
sebelumnya, maka dapat disimpulkan telah terjadi penyimpangan terhadap
Kebiasaan dan Best Practice di dunia perbankan sbb:
·
Tidak dilakukan assessment resiko
terhadap Issuing Bank (Commercial Line)
·
Tidak dimintakan konfirmasi dari
First Class International Bank, padahal untuk yang L/C berasal dari high risk
country dan nilainya sangat besar lazimnya di-konfirm.
8
·
Tidak dilakukan assessment terhadap
nasabah penerima fasilitas (Gramarindo & Petindo)dengan analisa 5C
(Character, Capability, Capital, Collateral & Condition) dan Trade Line
·
Tidak ada pemisahan fungsi manajemen
risiko dan fungsi marketing karena semua keputusan dilakukan oleh satu pejabat
yakni Kepala Cabang atau pejabat lain yang ditunjuk Kepala Cabang, tanpa adanya
review dari sisi Risk Manajemen
Ø Pelanggaran
terhadap Etika
Pegawai Bank BNI Kebayoran Baru lainnya
tidak melaporkan adanya indikasi pelanggaran prosedur diskonto L/C kepada unit
yang berwenang, sehingga potensi kerugian Bank BNI menjadi semakin besar.
·
Vonis Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan
Sehubungan dengan persidangan kasus L/C
fiktif Bank BNI, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah menjatuhkan vonis
sebagai berikut :
v
Vonis terhadap pelaku internal BNI
No Nama Jabatan Vonis PN:
1.
Edi Santosa Kabid Pelayanan luar
negeri BNI Cab. Kebayoran Baru Penjara Seumur hidup
2.
Kusadiyuwono Kepala Cab. BNI
Kebayoran Baru Penjara 16 tahun
v
Vonis terhadap pelaku nasabah BNI
No Nama
Jabatan Vonis PN:
1.
Olah Abdullah Agama Direktur PT Gramarindo
Legal Indonesia 15 tahun penjara potong masa tahanan & denda Rp300 juta.
2.
Aprilla Widharta Direktur Pan Kifros
15 tahun penjara potong masa tahanan & denda Rp200 juta.
3.
Adrian P. Lumowa Direktur Magnetique
Esa Indonesia 15 tahun penjara potong masa tahanan & denda Rp400 juta.
4.
Titik Pristiwanti Direktur
Binekatama Pasific 8 tahun penjara & denda Rp300 juta.
5.
Richard Kuontul Direktur Netrantara
10 tahun penjara & denda Rp150 juta.
9
2.5 Solusi dari Masalah yang terjadi
·
Sistem dan prosedur pengamanan
transaksi L/C, khususnya di bank-bank BUMN, termasuk Bank BNI, cukup baik
karena telah dibangun dan disempurnakan selama bertahun-tahun, antara lain
berdasarkan pengalaman- pengalaman pahit masa lampau.
- Menerapkan Good Corporate Governance secara konsisten.
- Memperketat internal control.
- Melakukan pemisahan fungsi risk manajemen dan fungsi marketing.
- Selalu mengacu pada best practice dan UCP dalam menangani transaksi L/C
- Memberlakukan aturan kewenangan yang berjenjang dalam memutus fasilitas L/C ekspor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar